Sekali waktu saya pernah nonton film Jepang berjudul Crow Zero, saya tidak begitu paham dan hafal betul dengan aktor-aktor nya, disamping tidak pernah mengikuti perkembangan dunia perfilman, juga lantaran bukan hobi saya untuk nonton film, jadi wajar saja jika saya kurang mengerti tentang artis-artisnya, toh artis dan selebritis tanah air pun saya juga kurang mengenal.

Yang menarik dalam film ini adalah gambaran fantasi dari pemilik ide cerita~yang entah siapa, kabarnya dari sebuah komik seri, digambarkan suatu lingkup pergaulan pelajar yang serba bebas. Absurd memang (namanya juga film), sekolah yang prestasi siswanya ditentukan oleh kuatnya pukulan untuk usahanya masing-masing dalam menguasai lingkungan pergaulannya. Maka sering terjadi perkelahian dalam lingkungan sekolah tersebut.

Cerita berawal dari kehadiran seorang pelajar bernama Takiya Genji di sekolah Suzuran, anak seorang yakuza yang tertantang untuk menggantikan posisi ayahnya dalam organisasi dengan menaklukkan Suzuran sebagai sekolah ‘keras’. Untuk melakukan penaklukkan tersebut, pelajar inipun harus menghadapi tantangan yang cukup berat, yaitu mengalahkan satu persatu penguasa di Suzuran dan yang pertama harus ia kuasai adalah kelasnya yang baru.

Berhasil dengan penguasaan kelasnya dengan mengalahkan pemimpin kelas yang dalam film ini adalah bernama Chuta, pelajar Genji pun mulai melakukan intrik dan diplomasi terhadap kelas yang lain, termasuk mencoba merekrut adik-adik kelasnya baik yang kelas satu maupun kelas dua.

Diplomasi awal berhasil dengan memulai persahabatan dengan pemimpin kelas ‘C’ yaitu Makise, tapi dengan kelas berikutnya, kelas ‘D’ pelajar Genji menemui kesulitan yang cukup berarti, pelajar Genji harus mati-matian dikroyok anak kelas ‘D’ hingga babak belur dan pingsan. Oleh kejadian ini, Izaki sebagai pemimpin kelas ‘D’ mulai menaruh simpati terhadap kegigihan Genji yang pada akhirnya mereka berdamai dan membentuk suatu koalisi berandal sekolahan yang mereka sebut “GPS”.

Kehadiran kelompok “GPS” yang dimotori tiga raja kecil: Izaki, Makise dan Chuta yang berada dibawah kepemimpinan Genji cukup menarik perhatian ’sang raja sekolah’ Serizawa bersama rekan-rekannya, Serizawa sendiri diceritakan memimpin kelas ‘A’ bersama Tokio, Tokaji dan Tsutsumoto, semuanya jago kelahi. Sedang kelas ‘B’ yang dikuasai Mikami bersaudara berhasil takluk dengan satu pukulan oleh Serizawa diawal cerita.

Terjadilah persaingan antar kedua kelompok ini, saling serang, berintrik dan mendominasi lingkungan Suzuran. Ya, hegemoni untuk merekrut pengikut dari kelas lain juga merupakan medan tempur yang hebat. Dan akhir dari persaingan ini adalah sebuah pertarungan yang dimenangkan oleh kelompok Genji.

Pada bagian kedua film ini tantangan lebih berat lagi, meskipun pada akhirnya kelompok Genji dan Serizawa berdamai tapi mereka harus menghadapi kekuatan dari luar lingkungan mereka. Tersebutlah Housen, sekolah yang juga diisi oleh berandalan yang suka berkelahi, bedanya jika di Suzuran adalah perkelahian jalanan sedangkan di Housen berisi pelajar yang gemar olah raga beladiri yang juga identik dengan kepala ‘plontos’ semacam kelompok ’skin-head’ di Inggris tahun 70-an. ‘Skin head’ inipun sering dikabarkan suka berkelahi meskipun tidak terdapat dalam film ini.

Sesaat saya berpikir “apa ada sekolah macam itu di Jepang sana?” dan langsung saja saya jawab sendiri “bagaimana mungkin ada yang seperti itu?!”, meskipun Jepang yang terkenal kejamnya saat datang ke tanah air, toh mereka juga masih punya ‘unggah-ungguh’ dan sangat disiplin dalam membangun pendidikan. Tidak akan mungkin ada sekolah semacam itu, saya yakin pemerintahan disana akan cepat tanggap hingga tidak muncul gejala-gejala yang mengarah kesana.

Sedang di tanah air, saya pikir mungkin saja. “Bagaimana bisa?”, tentunya dengan terus memisahkan pelajar dari kesadarannya sebagai manusia, mengasingkan pelajar dari dirinya sebagai seorang manusia. Maka terbentuklah mental individualis pelajar hingga kesadarannya jatuh pada titik terendah yang menyamakan dirinya dengan hewan, bersaing dengan kekuatan otot tanpa kreatifitas untuk membangun lingkungannya secara sehat.

Tentang keadaan sekolah yang digambarkan dalam film inipun bisa saja muncul di tanah air, ketika guru membatasi perannya hanya sebagai seorang pengajar tidak lagi sekaligus sebagai seorang pendidik, sedangkan pendidikan berkarakter yang sedang gencar didengungkan hingga sampai saat ini hanya menjadi semacam ‘kandang singa’~garang di dalam tapi tidak bertaji di luar. Dalam keadaan seperti ini sangat memungkinkan pelajar-pelajar Genji terlahir di Indonesia.

Awalnya mereka takut karena ada ancaman peraturan-peraturan yang terbatas, selanjutnya mereka sudah tidak lagi peduli dengan peraturan tersebut sebab merasa tidak ada pengaruh sama sekali terhadap dirinya. Sama halnya dengan pengendara kendaraan bermotor (yang nakal) dijalanan yang hanya mau tertib jika ada yang mengawasi: polisi. Hal demikian memungkinkan juga untuk memunculkan mentalitas penjilat bukan?.

Tidak ada salahnya Indonesia bercermin dari film negeri seberang ini, meskipun kirannya tidak akan lulus sensor jika ingin ditayangkan. Dan mendidik untuk membentuk karakter adalah sepenuhnya dengan membangun kesadaran, bukan semata dengan ancaman~telah kita sepakati dengan ‘diam’ bahwa ancaman adalah salah satu bentuk kekerasan dan mendidik dengan ‘kekerasan’ tidak akan berbuah apa kecuali ‘kekerasan’ pula.